Skip to main content

Featured

034-Culagopalaka Sutta.

CULAGOPALAKA SUTTA Pendahuluan Seperti sutta 33, Sutta ini juga memperkenalkan kiasan mengenai penggem­bala cakap/mampu/tangkap dan tidak cakap tetapi mereka ini dipakai pada per­soalan subyek yang berbeda. Seorang penggembala (sapi) yang tidak cakap di­bandingkan dengan guru-guru agama yang tidak trampil di dalam dunia ini (karena mereka tidak tahu mengajar orang-orang hidup dengan penuh kedamaian, begitu juga guru lainnya karena mereka memilik kebahagiaan sendiri); dunia yang akan datang ( tidak mengetahui tindakan apa yang dianjurkan untuk mencapai kelah­iran kembali yang baik, atau memegang pandangan penghancur lainnya yang menya­takan tidak ada kehidupan berikutnya); yang menjadi milik Mara (seluruh dunia diliputi oleh keinginan dan hawa nafsu, sekalipun surga rasa keinginan atau buah atas dari keinginan itu menjadi milik Mara); apa saja yang bukan milik Mara (adalah dunia yang berupa atau tanpa rupa yang berada diluar jangkauan Mara; dasar mereka bukan keing

Brahmajal Sutta

BRAHMAJALA SUTTA
Sumber: Brahmajala Sutta , Oleh: Tim Penterjemah
Diterbitkan oleh Badan Penerbit Buddhis ARYASURYACANDRA, 1993
PENDAHULUAN
Brahmajala Sutta merupakan sutta yang pertama dari 34 sutta Digha Nikaya. Sutta ini merupakan sebuah sutta yang sangat penting untuk dipelajari dan direnungkan karena isi sutta ini menguraikan tentang berbagai pandangan atau ajaran dari bermacam-macam aliran agama yang ada serta berkembang pada masa kehidupan Sang Buddha. Khususnya bagi umat Buddha yang sedang mempelajari Buddha Dhamma, maka dengan merenungkan dan mengerti isi sutta ini, ia akan mendapatkan banyak informasi baru tentang dasar teori tentang bagaimana pola pikir dan kedudukan ajaran agama Buddha di tengah-tengah aneka ragamnya teori pandangan hidup dan agama di dunia ini. Karena uraian yang ada dalam sutta ini, walaupun telah diungkapkan oleh Sang Buddha pada lebih dari 2500 tahun yang lalu, namun isinya sampai sekarang masih up to date. Ada dua pokok besar yang diuraikan dalam Brahmajala sutta, yaitu tentang sila (peraturan prilaku-moral) dan ditthi (pandangan atau teori ajaran). Sila yang diuraikan adalah Cula sila, Majjhima sila dan Maha sila yang perlu sekali dilaksanakan oleh setiap umat Buddha yang saleh. Cula sila berkenaan dengan peraturan-peraturan yang terdapat dalam dasa sila Buddhis. Majjhima sila berkenaan dengan rincian dari pelaksanaan sila keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan dari dasa sila Buddhis maupun tentang pemeliharaan tumbuh-tumbuhan agar tetap lestari, dan cara berbicara yang pantas.
Ada enam puluh dua macam ditthi yang diuraikan dalam sutta ini. Ditthi-ditthi ini dianut dan diyakini oleh para penganutnya sesuai dengan batas kemampuan mereka. Ada yang mengaturnya berdasarkan pada pengalaman, pengetahuan, pencapaian sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk membuktikan kondisi dari pada yang diyakininya itu karena mereka dapat melihatnya sendiri. Namun ada juga yang menganut dan meyakini paham mereka hanya didasarkan pada spekulasi yang mereka sendiri tak dapat membuktikannya, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengalami atau melihatnya sendiri, paham ini mereka ketahui atau pelajari dari guru-guru mereka atau didasarkan pada spekulasi mereka sendiri. Bagi umat Buddha, walaupun diantara ditthi-ditthi itu ada yang perlu juga untuk diketahui dicapai dan dibuktikan sendiri, tetapi umat Buddha tidak boleh berhenti hanya pada tingkat pencapaian seperti itu saja. Karena, walaupun ada beberapa ditthi atau pandangan serta pencapaiannya itu perlu pula dicapai oleh umat Buddha tetapi itu semua bukanlah merupakan tujuan akhir dari ajaran Sang Buddha. Pencapaian atau tingkat kemampuan yang dihasilkan oleh ditthi-ditthi itu adalah baik dan berguna, namun itu semua hanya merupakan titik tolak untuk dijadikan dasar yang bagus dalam pengembangan dan meningkatkan kemampuan batin demi tercapainya pembebasan batin (nibbana) dari semua kilesa (kekotoran batin). Sebab itulah umat Buddha tidak boleh terperangkap oleh ditthi-ditthi ini. Semua pandangan ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Pubbantanuditthino (Pandangan mengenai masa yang lampau), terdiri dari 18 ditthi yang diuraikan sebagai:
a. Empat pandangan Sassatavada (eternalis) yang menyatakan bahwa atta (jiwa) dan loka (dunia) adalah kekal.
b. Empat pandangan Sassata-asassatavada (semi eternalis) yang menyatakan bahwa atta dan loka adalah sebagian kekal dan sebagian tidak kekal.
c. Empat pandangan Antanantika (ekstentionis) yang menyatakan bahwa atta dan loka adalah terbatas dan tak terbatas.
d. Empat pandangan Amaravikkhepika (berbelit-belit), yang bilamana ada pertanyaan yang diajukan pada penganutnya, maka mereka akan memberikan jawaban yang berbelit-belit, sehingga membingungkan pendengarnya.
e. Dua pandangan Adhiccasamuppanika (asal mula sesuatu terjadi secara kebetulan), yang menyatakan bahwa atta dan loka terjadi atau muncul tanpa adanya suatu sebab.
2. Aparantakappika (Pandangan mengenai masa yang akan datang), yang terdiri dari 44 ditthi yaitu:
a. Enam belas pandangan Uddhamaghatanikasanavada (setelah meninggal kesadaran tetap ada, yang menyatakan bahwa atta tetap hidup terus setelah kita meninggal.
b. Delapan pandangan Uddhamaghatanikasannivada (setelah meninggal kita tak memiliki kesadaran), yang menyatakan bahwa setelah kita meninggal atta adalah tanpa kesadaran.
c. Delapan pandangan Uddhamaghatanika n'evasanni nasannivada (setelah meninggal ada kesadaran dan tanpa kesadaran), yang menyatakan bahwa setelah meninggal atta adalah memiliki kesadaran dan tanpa kesadaran.
d. Tujuh pandangan Ucchedavada (annihilasi), yang menyatakan bahwa setelah kita meninggal kita hancur dan lenyap.
e. Lima pandangan Ditthadhammanibbanavada (mencapai pembebasan mutlak dalam kehidupan sekarang ini), yang menyatakan bahwa nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang.
Dengan memiliki abhinna ini, beliau mengembangkan pikiran (batin) melihat lebih jauh dan dalam mengenai hidup dan kehidupan ini. Dengan bertumpu pada dasar pemikiran seperti inilah beliau mengembangkan vipassana bhavana (meditasi pandangan terang) dan menembus pengetahuan tentang hukum sebab yang saling bergantungan (paticcasamuppada). Demikian pula selanjutnya, berdasarkan pada pengetahuan yang semakin halus dan dalam tentang paticcasamuppada ini akhirnya beliau menembus pengertian tentang segala sesuatu adalah tidak kekal (anicca), akibatnya hal itu tidak dapat dipertahankan (dukkha) karena memang segala sesuatu itu tidak memiliki jiwa yang kekal (anatta). Dengan merealisasikan semua hal ini beliau dapat (kilesa). Beliau menjadi Buddha pada usia 35 tahun dan merealisasikan nibbana. Jadi nibbana dicapai ketika beliau masih hidup. Nibbana bukanlah alam kehidupan melainkan kondisi atau keadaan batin yang suci.
Proses perkembangan pikiran beliau, dimulai dengan pikiran atau batin manusia dengan segala kapasitasnya yang ada, berkembang menjadi pikiran atau batin yang disertai kemampuan abhinna dan akhirnya mencapai batin yang suci serta menembus semua rahasia kehidupan alam semesta (lokavidu). Beliau pun dikenal sebagai seorang sabbanmu (maha tahu). Kemahatahuan (sabbannu) adalah mengetahui segala sesuatu, tetapi cara mengetahuinya satu hal pada satu saat. Jadi beliau hanya mengetahui satu hal pada satu saat. Bila beliau berkehendak untuk mengetahui obyek yang lain maka beliau akan memfokuskan batinnya pada hal tersebut. Apakah hal itu jauh atau dekat dapat diketahui beliau. Sehingga segala sesuatu satu persatu diketahui beliau. Berdasarkan kondisi batin yang seperti inilah, Sang Buddha membabarkan Buddha Dhamma kepada para dewa dan manusia, sehingga beliau dikenal pula sebagai guru para dewa dan manusia (sattha devamanussa). Beliau mengajarkan bahwa bumi tempat kehidupan manusia bukan hanya sebuah saja melainkan ada banyak sekali bumi di jagad raya ini yang dihuni manusia seperti apa yang dinyatakan beliau dalam Ananda Vagga, Anguttara Nikaya I. Namun segala sesuatu adalah tidak kekal (anicca), maka bumi pun akan hancur dan lenyap. Demikianlah, bumi yang lebih tua akan lenyap lebih dahulu. Bumi kita pun pada suatu saat akan hancur. Tetapi kehancuran bumi kita ini bukan berarti semua bumi di alam semesta akan hancur bersama-sama dengan bumi kita. Ketika bumi kita hancur, bumi-bumi lain masih tetap ada, selanjutnya akan tiba saatnya (gilirannya) bagi bumi-bumi lain itu satu persatu akan hancur pula. Namun proses pembentukkan bumi-bumi baru satu persatu akan muncul pula. Dengan demikian alam semesta kita ini tidak akan kosong dengan bumi-bumi dan manusia yang menghuninya. Proses ketidakkekalan berjalan terus sesuai dengan hukum sebab akibat yang universal (dhammaniyana), tetapi nampaknya massa di alam semesta tetap sama adanya ketetapan massa.
Selanjutnya dalam mempelajari ajaran agama, dalam hal ini mempelajari sutta, kita harus hati-hati sebab kita akan menemukan banyak kata teknis yang sama bunyinya dengan apa yang ada dalam ajaran agama lain. Hal ini bukan berarti bahwa ke dua kata yang sama bunyinya itu, yang berasal dari dua sumber yang berbeda berarti ke dua kata itu sama. Seperti apa yang terdapat dalam sutta ini, yaitu kata "Maha Brahma". Dalam ajaran Buddha kata "Maha Brahma" ini berarti mahluk dewa Brahma yang terlahir di alam maha brahma karena karmanya sendiri yaitu ia berhasil memiliki atau mencapai tingkat Jhana I yang kuat pada kehidupannya yang lampau dan meninggal pada saat ia mencapai Jhana I itu. Jadi dewa maha brahma ini
bukan sama dengan Maha Brahma sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran agama Hindu. Bagi umat Buddha yang ingin belajar Buddha Dhamma, maka membaca dan merenungkan isi Brahmajala sutta ini adalah sangat penting dan bermanfaat sekali. Karena kita dapat membayangkan danmenyadari bahwa dhamma yang diajarkan Sang Buddha kepada kita sekalian adalah sangat halus dan dalam sekali. Hal ini dapat menimbulkan atau membangkitkan semangat kita untuk lebih giat menyimak semua ajaran Sang Tathagata.

Popular Posts